Wednesday, April 9, 2014

Herbert Marcuse, serta sekilas Marx, Durkheim, dan Weber dalam kritik atas Modernitas!

Semua berawal dari revolusi industri yang terjadi di Inggris, kemajuan akan ilmu pengetahuan dan teknologi dimulai dari bagian dunia sana yang diyakini sekarang mempunyai peradaban yang paling menggiurkan di seluruh dunia. Proyek modernisasi sebagai hasil dari revolusi industri, dimana ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi mulai memunculkan jati dirinya. Proyek modernisasi muncul seiring semakin berkembangnya industri-industri yang menghasilkan alat-alat teknologi yang serba canggih, yang serba efisien, yang serba efektif bagi kehidupan masyarakat (katanya). Pada abad 20an setelah berakhirnya perang dunia ke II yang mengakibatkan di seluruh bagian dunia mengalami kehancuran dari fisik hingga kemunduran ekonomi. Akibat perang dunia ke II dirasakan terutama oleh negara-negara eropa baik yang menjadi pemenang maupun kalah dalam perang. Munculnya modernisasi yang menawarkan kemajuan dan penemuan teknologi-teknologilah yang pada saat itu menjadi sandaran bagi masyarakat. Dengan adanya alat-alat teknologi yang canggih akses-akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dan pekerjaan semakin mudah.
            Dimana pada zaman modern saat itu, masyarakat industri modern diberikan kemudahan dengan teknologi yang semakin canggih, akses terhadap pekerjaan yang awalnya dikerjakan oleh tenaga manusia digantikan oleh tenaga-tenaga mesin. Kuantitas produksi pun semakin meningkat karena dikerjakan oleh mesin yang sudah canggih dengan begitu kesejahteraan masyarakat pun diharapkan akan mengikutinya. Dengan adanya berbagai kemudahan dan hasil yang ditawarkan oleh modernitas, membuat masyarakat industri modern tersebut terlena dan tidak sadar bahwa mereka saat itu sedang ditindas. Realitas-realitas yang terjadi dan selalu mengiringi setiap jengkal kehidupan pada masyarakat industri modern saat itulah yang memunculkan pemikiran kritik oleh Marcuse. Herbert Marcuse adalah seorang pemikir asal jerman yang beragama yahudi. ketika di Jerman ia adalah seorang anggota dari sekolah frankfurt, lembaga yang melakukan kajian-kajian sosial.[1] Tulisannya yang paling terkenal dan paling berpengaruh adalah One Dimensional Man, dalam tulisannya bagaimana ia mengkritik masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang pasif terhadap realitas yang ada, tanpa mempertanyakannya.
            Kritik oleh Marcuse terhadap masyarakat industri modern saat itu, karena ia melihat bagaimana masyarakat terbentuk menjadi satu dimensi. Dimana modernisasi menjadi dalih bagi kaum kapitalis sebagai jalan keluar bagi masyarakat-masyarakat eropa saat itu yang habis mengalami peperangan untuk membangun lagi hidupnya. Masyarakat menyandarkan kehidupannya kepada alat-alat tekonologi yang canggih dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dan melakukan pekerjaannya. Masyarakat industri modern sibuk bekerja guna kembali menata kehidupannya, hingga lembur bekerja guna memuaskan kebutuhannya hingga mereka kehilangan daya kritis nya. Penulis sangat setuju dengan kritik oleh Marcuse dan masih sangat relevan sekali untuk membaca dan melihat realitas pada masyarakat sampai saat ini. Karena pada masyarakat industri modern yang seharusnya secara pemikiran menekankan pada kefektifan, efisiensi dan rasional dalam berpikir dan bertindak. Namun berbeda pada kenampakkan realitas yang berusaha dikritik oleh Marcuse, dimana masyarakat pada saat itu mereka tidak sadar sedang di giring menjadi suatu bentuk demi pemenuhan tujuan kapitalis. Masyarakat modern yang dianggap rasional ternyata irasional dalam pemenuhan kebutuhannya, hingga batas needs and wants menjadi kabur. Sebagai contoh pemenuhan kebutuhan komunikasi oleh masyarakat sekarang tidak lagi berdasar pada kebutuhan, dimana menurut penulis, alat komunikasi dengan aplikasi sms dan telepon sudah cukup namun masyarakat modern membutuhkan aplikasi lain seperti BBM, Line dll.
Kenyataan diatas bagaimana masyarakat industri modern berusaha dibentuk oleh kapitalis agar menjadi sebuah bentuk. Keharusan untuk mengikuti mass culture atau budaya yang dipakai masyarakat luas pun menjadi penting. Sehingga ketika seorang individu tidak sama dan tidak mengikuti budaya yang ada di sekeliling kehidupannya maka individu itu bisa dianggap berbeda bahkan bisa dibilang tidak modern. Hal-hal diatas mulai dari ke-irasionalitasan individu dalam pemenuhan kebutuhan yang mengakibatkan batas antara needs and wants menjadi kabur, hingga individu-individu harus mengikuti mass culture merupakan gambaran realitas yang berusaha dikritik oleh Marcuse. Marcuse melihat pada masyarakat industri modern saat itu kehilangan dimensi-dimensi lainnya. Dimensi yang ada pada masyarakat industri modern saat itu adalah dimensi yang mendukung tujuan kapitalis, masyarakat tidak sadar bahwa mereka sedang terdominasi dan seringkali ketidaksadaran itu pun dibuat oleh para kapitalis , yang bisa disebut sebagai kesadaran palsu.
Kesadaran palsu sengaja dibuat oleh kapitalis, guna melanggengkan kekuasaan dan dominasi mereka (kapitalis) atas masyarakat industri modern. Masyarakat dibuat senyaman mungkin dalam pemenuhan kebutuhannya dan akses-akses terhadap pekerjaannya pun mudah karena didukung dengan adanya teknologi. Masyarakat dibuat sibuk bekerja untuk meningkatkan ekonominya. Masyarakat sebisa mungkin dibuat lupa hingga tidak sadar bahwa mereka sedang terdominasi hingga kapitalis bisa berteriak : long life capitalism!. Contoh yang penulis ambil seperti yang sudah diungkapkan saat kuliah bagaimana buruh diperas tenaganya pada pagi sampai siang hari, dan pada malam hari, buruh diberi tontonan lewat media televisi iklan-iklan produk kapitalis agar mereka mengkonsumsinya, bagaimana realitas buruh terdominasi setiap waktunya di setiap harinya. Jalan keluar menurut Marcuse untuk membebaskan masyarakat industri modern dari dominasi oleh kapitalis ada 2. Pertama, bagaimana alat-alat teknologi yang menjadi asal muasal dari terdominasinya masyarakat industri modern ternyata juga mempunyai potensi untuk membebaskan. Pemikiran Marcuse akan jalan keluar yang pertama ini sangat dipengaruhi oleh Hegel, pola pikirnya yang dialektis bahwa masyarakat industri modern pun berpotensi membebaskan tidak hanya terkekang oleh keadaan.[2] Teknologi yang menjadi sumber kekuasaan oleh kapitalis juga punya kuasa untuk membebaskan masyarakat. Jalan keluar yang kedua menurut Marcuse adalah munculnya sifat kepekaan dan kesadaran baru oleh masyarakat industri modern dalam memandang kehidupaannya, hilangnya sifat pasif dan hanya menerima saja berubah menjadi aktif dan masyarakat punya dimensi negasi. Menurut penulis, kritik Marcuse masih sangat relevan dalam membaca realitas masyarakat industri modern sampai saat ini, dan posisi teori kritik, menjadi demikian sangat penting karena bersifat “emansipatoris”
Selanjutnya penulis akan mengulas bagaimana teori klasik melihat sebuah bangunan yang didambakan oleh masyarakat industri modern yaitu modernitas. Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui tiga tokoh terkemuka teori klasik yaitu: Marx, Durkheim, dan Weber pun berbicara mengenai perubahan masyarakat dari keadaan tradisonal sampai kepada masyarakat modern, division of labour yang semain kompleks dengan adanya industrialisasi, dan rasionalitas-rasionalitas yang harus dimiliki oleh masyarakat modern hingga bentuk organisasi yang paling sempurna yaitu birokrasi menurut Weber. Pertama penulis akan mengkaji bagaimana Marx melihat keadaan pada masyarakatnya. Marx tumbuh dan berkembang saat industri-industri mulai muncul sebagai akibat dari revolusi industri. Penemuan-penemuan alat teknologi baru menyebabkan perubahan pada masyarakat Marx. Dimana berubah dari masyarakat yang agraris yang memakai tenaga manusia berubah menjadi masyarakat modern yang menggunakan mesin. Marx melihat bagaimana pada waktu itu masyarakat terbagi menjadi 2, yaitu: kaum proletar dan kaum borjuis. Dimana kaum borjuis yang memiliki kapital menguasai dan mendominasi kaum proletar atau buruh. Dalam kondisi pada saat itu kaum proletar mengalami kesadaran palsu, mereka dibuai oleh kaum kapitalis hingga mereka tidak sadar bahwa mereka sedang di dominasi. Apalagi pada zaman Marx, kedudukan gereja masih sangat diyakini oleh masyarakat, hingga Marx melihat agama sebagai candu masyarakat. Dogma-dogma yang dikeluarkan oleh gereja pun menjadi sarana para kapitalis dalam melanggengkan dominasinya atas kaum proletar. Hal diataslah yang Marx lihat pada masyarakatnya, kemudian bagaimana Marx berusaha menyadarkan kaum proletar untuk sadar dan melakukan perjuangan kelas hingga mencapai masyarakat impian Marx yaitu sosialis.
Kedua bagaimana Durkheim melihat kesadaran kolektif yang dimiliki masyarakat masih sangat kuat ketika pembagian-pembagian pekerjaan pada masyarakat belum kompleks. Durkheim membagi 2 bentuk masyarakat yaitu : solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Pada masyarakat mekanik, hubungan yang ada pada masyarakatnya masih sangat intim dikarenakan pembagian pekerjaan masih sangat homogen yaitu masyarakat agraris. Kemudian munculnya revolusi industri pun semakin menggairahkan tumbuhnya industri-industri, pembagian pekerjaan pun semakin kompleks, masyarakat ini disebut masyarakat organik. Hal tersebut berimplikasi pada hubungan atau interaksi yang ada dimasyarakat, dimana pekerjaan sudah sangat kompleks, interaksi dimasyarakat pun hanya berdasar kepentingan-kepentingan. Terakhir bagaimana Weber yang menekankan pada masyarakat industri modern harus memiliki tujuan yang jelas dalam hidupnya yaitu rasionalitas instrumental. Muncul-munculnya industri pun membuat masyarakat harus mengedepankan efektif, efisien dan rasional didalamnya. Untuk mempermudah dan mengefektifkan regulasi dalam masyarakat industri maka dibentuklah organisasi. Bentuk organisasi yang paling rasional menurut Weber adalah birokrasi, dimana dalam birokrasi terdapat tujuan yang jelas, dan berhierarkis agar memudahkan komunikasi dalam organisasi antar divisi-divisi di sebuah struktur. Namun ternyata birokrasi justru hanya membuat kehidupan masyarakat modern ribet bukannya mempermudah, birokrasi pun pada hari ini tidak lepas dari kepentingan-kepentingan oleh sekelompok orang ( kapitalis )
Daftar Pustaka :
Sudarminta, J. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri   Modern” 




[1] Sudarminta, J. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern” hlm. 121.
[2] Sudarminta, J. “Kritik Marcuse terhadap Masyarakat Industri Modern” hlm. 141.

Review Film Confession of Shopaholic

Pada tugas kali ini penulis akan mencoba mereview kembali film yang dipertontonkan pada perkuliahan sebelumnya yaitu Confession of Shopaholic melalui sudut pandang teori-teori yang berhubungan dengan globalisasi dan perilaku konsumerisme. Terlihat pada film tersebut bagaimana, Rebecca Bloomwood sang pemeran utama dari film ini yang akan disebut selanjutnya pada review ini dengan “masyarakat” untuk mendefinisikan yang lebih luas lagi. Film dengan latar atau setting yang diambil di negara Amerika tersebut, bagaimana menunjukan masyarakat Amerika sebagai salah satu negara maju paling modern didunia begitu terbelenggu dengan kemajuan zaman yang ditandai dengan adanya globalisasi dan meningkatnya perilaku konsumsi masyarakatnya sebagai akibat dari perkembangan dunia.
Pada film tersebut Bloomwood sebagai gambaran dari masyarakat modern saat ini hidupnya begitu terbelenggu dan terkuasai oleh modernitas lebih rinci lagi dalam hal mode atau fashion. Bagaimana masyarakat modern saat ini layaknya terikat kepada sesuatu yang sebenarnya menguasai seperti masyarakat yang hidup pada abad sebelum pencerahan yang terbelenggu oleh kuasa dogma agama. Masyarakat seperti terikat dan begitu membutuhkan akan sebuah barang atau komoditas ekonomi yang dihasilkan oleh para kapitalis contohnya mode berbusana. Dalam bahasanya Marcuse yang terjemahkan dalam karyanya yang paling populer yaitu One Dimensional Man, dimana masyarakat modern saat ini adalah masyarakat yang One Dimenson atau satu dimensi. Masyarakat modern saat ini dengan “kesadarannya” mengikuti begitu saja jalan kehidupan yang sebenarnya telah dikuasai oleh para kapitalis demi kepentingan dan tujuan mereka. Kapitalis dengan sengaja menciptakan “kesadaran palsu” kepada masyarakat modern kini, dengan menawarkan teknologi-tekonologi yang semakin maju yang menandakan kehidupan modern yang “katanya” dapat meringankan dan membantu pekerjaan manusia agar lebih cepat dan efisien. Hal inilah yang dilihat oleh Marcuse, bagaimana pada zaman modern ini antara needs atau kebutuhan dan wants atau keinginan batasnya menjadi kabur. Seperti pada film tersebut bagaimana si Bloomwood tidak dapat mengontrol dirinya untuk tidak berbelanja pakaian-pakaian yang sebenarnya ia sendiri tidak membutuhkannya, namun didalam diri ada keinginan untuk membeli agar lebih terlihat modern atau dalam bahasa anak gaul, agar kelihatan lebih Hits.
Tidak berbeda jauh dengan Marcuse, Jean Baudrillard juga melihat masyarakat modern kini adalah sebagai masyarakat yang konsumtif. Baudrillard melihat perilaku konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat modern kini juga penting untuk dilihat selain hubungan-hubungan produksi-produksi oleh para pemilik kapita untuk menjelaskan dinamika kehidupan masyarakat modern. Ketika Marx melihat masyarakat dari sudut pandang produksi dimana siapa yang menguasai moda produksi atau materi maka dapat menguasai dan mempengaruhi masyarakatnya. Baudrillard kritis melihat hubungan yang terdapat pada kegiatan konsumsi atau paska produksi dalam konteks ini berbelanja yang dilakukan oleh masyarakat yang mana justru mengkonsumsi sign atau tanda. Banyak plesetan yang didapatkan penulis ketika membaca tulisan tentang Baudrillard dan tema-tema konsumsi. Ketika filsuf Descartes mengatakan “Cogito Ergo Sum” yang berarti aku berpikir maka aku ada, maka pada zaman modern saat ini masyarakat dapat digambarkan dengan “aku berbelanja atau membeli, maka aku ada”. Dengan pernyataan berikut dapat ditarik kesimpulan dimana perilaku konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya mengkonsumsi kegunaan barang itu saja namun terbangunnya eksistensi sang pembeli atau pemiliknya. Dari konsumsi tanda atau sign dari sebuah barang atau komoditas menunjukan eksistensi atau keberadaan dari pemiliknya. Ketika sebuah barang atau benda yang dibeli tersebut keluaran baru dan modern, terindikasi menggambarkan individu yang membelinya sebagai orang modern karena mengikut trend.

Tindakan konsumtif yang dilakukan oleh Bloomwood dalam film tersebut, memperlihatkan impact atau dampak yang besar bagi individu karena dapat mempengaruhi rasio. Rasio masyarakat modern yang telah dikuasai oleh komoditas, maka akan memunculkan pemikiran: “ingin membeli”, “membeli”, “membeli lagi” dan “membeli terus” hingga memunculkan perilaku High Consumption. Dalam film terwujud dari kata-kata aktris utama yaitu “when I get shop, the world is better” meskipun dengan terus berbelanja dan mengkonsumsi seorang individu dapat terlilit hutang atau debt. Kesimpulannya Kapitalis menciptakan komoditas yang ditujukan pada Society Wants—not Needs (bahasa penulis) untuk dikonsumsi oleh masyarakat, ketika individu mengkonsumsi barang atau benda yang sama dengan masyarakat yang dianggap “maju” atau “modern”, maka individu tersebut seolah-olah menunjukan eksistensi keberadaannya dan lebih populer. Padahal kondisi sebenarnya mereka sedang dikuasai dan terbelenggu oleh kapitalis. Done!

MICHEL FOUCAULT

Final Paper Teori Sosiologi Kritik dan Postmodern
 “ Michel Foucault dan Kekuasaan
Oleh: Ageng Mahendra A
Jurusan Sosiologi – Universitas Brawijaya
NIM : 115120101111023 – agengbrawijaya@gmail.com
1. Pendahuluan
Pada tugas final paper ini penulis akan mencoba menulis ulang pengetahuan dan pemahaman yang penulis dapat setelah mengikuti perkuliahan teori sosiologi kritik dan posmodern, pada tugas ini penulis sendiri akan mengangkat dan membahas salah satu tokoh yang paling terkenal sebagai seorang filsuf abad 20 yang berasal dari Perancis yaitu Michel Foucault. Hasil pemikiran Foucault sendiri yang paling terkenal adalah bagaimana ia melihat kekuasaan sebagai sebuah hal umum yang ada dan tersebar diseluruh masyarakat yang ada didunia.
Sebelum memasuki dan membahas teori yang lebih mendalam dari Michel Foucault sendiri, penulis dalam hal ini akan memaparkan pengetahuan atau subejektivitas penulis dalam memandang apa itu yang dinamakan dengan kekuasaan. Kekuasaan menurut penulis dalam hal ini adalah istilah dimana seseorang atau sekelompok orang didalam masyarakat itu mempunyai sebuah sesuatu yang mana mampu mempengaruhi dalam hal ini menguasai orang lain atau masyarakat lainnya, dimana orang atau masyarakat lain tersebut mau mengikuti dan merasa harus bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh yang memiliki porsi atas “kuasa” tersebut dan bertindak dan berlaku atas standar-standar pembenaran yang dihasilkan oleh mereka yang memiliki kekuasaaan.
Michel Foucault sendiri tidak melihat kekuasaan seperti yang dikatakan dan digambarkan oleh banyak orang, bagaimana kekuasaan itu berasal dari adanya legitimasi-legitimasi yang didapat dari orang, kekuasaan sebagai hasil konsensus dari orang-orang, atau kekuasaan yang didapat dari menghancurkan dan menyingkirkan orang lain seperti melakukan penjajahan, meng-koloni bangsa lain sehingga bangsa lain tunduk kepada bangsa kita dan kita punya kekuasaan akan negara yang kita jajah. Michel Foucault lebih melihat bagaimana sebenaranya kekuasaan itu sendiri ada dan tersebar disegala penjuru kehidupan manusia, dan masyarakat atau manusianya itu sendirilah yang menjadi aktor dari kekuasaan. Manusia sebagai aktor kekuasaan maka manusia mempunyai 2 dimensi dalam kehidupan, mereka (manusia) mampu menjadi aktor kekuasaan yang menguasai manusia lainnya atau manusia tersebut sebagai orang yang dikuasai.
Sebelum lebih jauh lagi membahas teori yang dihasilkan oleh Michel Foucault, tidak salahnya untuk mengetahui sedikit siapakah itu Michel Foucault. Michel Foucault sendiri merupakan filsuf dan seorang teoritikus yang berasal dari Perancis, pemikiran akan Foucault sendiri dikenal sebagai seorang teoritikus yang beraliran Post-Modern (melewati zaman modern), dimana inti pemikiran dan pokok-pokok pemikirannya tidak lain untuk mengkritik realitas kehidupan yang ada di dunia tempat tinggal manusia, yang mana pada kehidupan masyarakat modern sebenarnya saat ini sedang didominasi dan terbelenggu atas hubungan-hubungan atau jaring-jaring kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir orang dalam hal ini para kapitalis sebagai “ pemilik ilmu pengetahuan “ karena merekalah yang mengkonstruksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan disebarkannya oleh ilmu-ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Penguasaan oleh para kapitalis atas masyarakat-masyarakat pada saat ini begitu terselubung sehingga mereka (masyarakat modern) sampai tidak menyadari kalau mereka sedang dikuasai, selain terselubung kekuasaan yang dimiliki para “ pemilik ilmu pengetahuan “ ini pun begitu dominatif. Balik lagi sesama teoritikus yang menempatkan pemikiran kritiknya terhadap kondisi masyarakat dunia modern saat ini, Foucault lebih melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang berafiliasi dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, berbeda pada pemikiran mahzab Frankfurt oleh Marcuse. Marcuse lebih melihat pada bagaimana masyarakat modern saat ini dikuasai, didominasi oleh para kapitalis melalui teknologi-teknologi yang semakin berkembang, sehingga membuat batas antara needs (kebutuhan) dan wants (keinginan) menjadi kabur sehingga masyarakat yang dilihat Marcuse berusaha digiring oleh para penguasa (kapitalis) untuk mengikuti budaya massa, sehingga individu-individu yang tidak mengikuti budaya massa dapat dikatakan sebagai individu yang aneh atau berbeda (deviant). Teori penguasaan oleh para pemilik modal atas masyarakat dunia modern dengan mengkaburkan fungsi teknologi yang semakin berkembang ini disebut, Rasionalitas Teknologis.
Begitu pula yang membedakan Foucault dengan para teortikus mahzab Frankfurt lainnya yaitu Adorno dan Hockeimer, dimana Adorno dan Hockeimer berusaha untuk membuka kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat melalui tulisannya mengenai Dialektik der Aufklarung atau abad pencerahan, dimana mereka berdua juga mengkritik masyarakat modern yang saat ini terbuai oleh musik-musik yang merupakan bentukan oleh para kapitalis yaitu budaya pop, yang mana menyamakan selera musik dan seni yang dimiliki oleh masyarkat modern sehingga menyingkirkan nilai-nilai agung yang dimiliki oleh seni ataupun musik itu sendiri karena penciptaan musik-musik popular itu sendiri dibuat oleh kapitalis demi mencapai tujuannya yaitu profit.
Masing-masing teoritikus kritis dan posmo memiliki perbedaan satu sama lain yang menjadi fokus dari pemikiran kritis mereka, Lyotard dan Derrida sebagai filsuf dan teoritkus posmo sendiri juga memiliki perbedaan dalam pemikiran yang menjadi fokusnya dengan apa yang dipikirkan oleh Michel Foucault, Lyotard lebih menitikberatkan kritiknya terhadap narasi-narasi besar yang telah ada dan mendahului pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dunia modern tanpa disadari mengikuti cerita-cerita besar tersebut yang dimaksudkan demi kepentingan kapitalis padahal mereka (masyarakat dunia modern) mampu menciptakan cerita-cerita kecilnya sendiri atau yang menurut bahasa Lyotard adalah Parology. Begitu juga dengan pemikiran yang dihasilkan oleh Derrida sebagai hasil kritiknya kepada kehidupan dunia modern saat ini, yang mana masyarakat saat ini dikuasai dan didominasi oleh penguasa karena secara pengetahuan mereka menerima gambaran serta isi yang didapat dari teks-teks yang beredar, yang mana teks tersebut berisi jaring-jaring kekuasaan dan kepentingan dari sang penulisnya. Dimana pada masyarakat yang dikritik oleh Derrida adalah masyarakat yang dikuasai melalui teks-teks seperti buku, kamus yang mana tujuannya diarahkan demi kepentingan barat.
Bagaimana gambaran masyarakat dunia modern saat ini begitu terdominasi sehingga mereka tidak mampu menyadari kalau mereka sedang didominasi dan dikuasai oleh para kapitalis. Meskipun terdapat perbedaan dalam menempatkan inti pemikiran kritisnya dengan teoritikus kritik dan posmo lainnya, Michel Foucault coba melihat dan mamandang dunia modernitas sebagai dunia yang mana masyarakatnya sedang didominasi oleh kekuasaan, yang mana kekuasaan tersebut tersebar melalui ilmu-ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri untuk menaklukan manusia lainnya dengan menciptakan kebenaran-kebenaran yang sebenarnya semu bagi masyarakat.
 Sebelum memasuki dan membahas pemikiran-pemikiran serta teori-teori Foucalt lebih mendalam, penulis akan membeberkan hasil-hasil karya berupa tulisan yang merepresentasikan pemikiran Foucault atas kritiknya kepada modernitas. Karya-karya hasil pemikiran dan representasi kritik oleh Michel Foucault, diantaranya menurut terjemahan bahasa Inggris adalah: Madness and Civilization (1961), The Birth of The Clinic (1963), The Order of Things (1966), The Archaeology of Knowledge (1969), dan Discipline and Punish (1975) (Suharnadji dalam Suyanto dan Amal, 2010: 367). Inti-inti dan hasil pemikiran yang ada didalam buku tersebut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
2. Masalah
Permasalahan yang akan penulis angkat dan dapat dikaji dan ditelisik oleh inti dari pemikiran kritis oleh Michel Foucault selain membeberkan contoh-contoh yang telah dipaparkan oleh Michel Foucault sendiri seperti institusi penjara yang menyebarkan kekuasaanya kepada narapidana melalui mekanisme-mekanisme tersendirinya yang dipakai untuk menaklukan rasio para narapidana, institusi kedokteran dan rumah sakit yang melalui ilmu pengetahuan akan disiplinnya sehingga mampu menguasai dengan membedakan mana orang sakit dan mana orang yang sehat, kemudian oleh institusi atau lembaga psikolog yang mana ilmu pengetahuan yang ada pada disiplinnya melalui tes-tes yang dilakukan yaitu psikotes, mereka (para psikolog) menyebarkan dan mendisplinkan masyarakat dengan membedakan mana orang yang normal dan mana orang yang tidak normal melalui skor hasil psikotesnya.
Dalam final paper ini, penulis akan mengambil beberapa permasalahan yang mana dapat dikaji dan sesuai dengan tradisi pemikiran kritis yang berusaha seperti Foucault tawarkan: hal yang pertama akan penulis bahas adalah bagaimana saat ini di Indonesia terutama untuk mengamankan dan berusaha menghindari adanya perbuatan yang tidak sesuai hukum, muncul lah teknologi sebagai hasil perkembangan zaman yaitu CCTV sebagai alat yang dapat merekam dan mengambil gambar situasi keadaan yang ada pada saat itu terjadi hal ini menurut penulis sendiri seprinsip dengan metode yang dilihat oleh Foucault dalam institusi penjara. Institusi penjara yang ada pada zaman Foucault menggunakan metode yang dibuat oleh Jeremy Bentham untuk mengusai dan menaklukan rasio para narapidana, penjelasan lebih lanjutnya akan ada pada bab pembahasan. Kemudian yang kedua dalam hal ini penulis berusaha untuk membeberkan kekuasaan yang dilakukan oleh institusi pendidikan terutama kampus yang saat ini penulis belajar dan menuntut ilmu pengetahuan.
 Dalam hal ini institusi pendidikan, yaitu kampus penulis sendiri secara sadar maupun tidak disadari mengelurakan jaring-jaring dan hubungan kekuasaan yang disebarkan melalui pengetahuan dan kebijakan oleh kampus sehingga mendisiplinkan tubuh para mahasiswa untuk berlaku dan bertindak sesuai dengan kemauan dan kepentingan oleh kampus. Contohnya dalam hal ini penulis dan mahasiswa-mahasiswa lainnya secara sadar kalau mereka sedang terdominasi dan dikuasai oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, dimana IPK sebagai salah satu yang mensyaratkan kelulusan apakah itu baik atau tidak, lulusan dengan pujian Cumlaude atau biasa saja, begitupula mahasiwa memang dan harus memiliki IPK minimal 2 untuk dapat dikatakan lulus.
Hal ini secara sadar diketahui oleh para mahasiswa namun karena begitu tersebar, kuatnya dan tertanamnya kekuasaan pada pengetahuan mahasiswa. Mahasiswa secara tidak disadari mendisiplinkan tubuhnya untuk mencapai target atau standar yang menjadi kemauan kampus, dengan mengerjakan tugas-tugas yang banyak yang terkadang membuat pusing kepala dan mengeyampingkan kehidupan-kehidupan sosial lainnya. Hal ini terjadi karena fokusnya tersedot untuk mengerjakan tugas sebagai cara untuk mendapatkan apa yang menjadi kemauan dan kebenaran oleh kampus yaitu IPK yang bagus.
3. Teori oleh Michel Foucault
Pada penjelasan sebelumnya diatas, dimana kekuasaan merupakan sesuatu yang mana mampu mengarahkan manusia ataupun individu lain bertindak dan berlaku sesuai keinginan dan kepentingan sang pemilik kekuasaan tanpa disadari. Michel Foucault memandang kekuasaan bukanlah sebagai sesuatu yang didapatkan melalui penaklukan dan dominasi yang dilakukan manusia atas manusa lainnya, perang dengan bangsa lain kemudian mengalahkannya setelah itu mendapatkan kekuasaan atas bangsa yang ditaklukan, ataupun kekuasaan yang merupakan hasil dari persetujuan-persetujuan yang didapat dari individu-individu lainya sehingga ada legitimasi kekuasaan. Kekuasaan menurut Foucault lebih kepada sesuatu yang muncul dari hasil interaksi oleh manusia yang ada didunia, yang mana beredar dikehidupan manusia dan sifatnya tersebar. Kekuasaan menurut Foucault tidak terlepas dari kehidupan yang manusia alami setiap hari, karena manusialah merupakan aktor dari kekuasaan itu sendiri, dimana manusia dapat menjadi aktor yang menguasai manusia lainnya ataupun sebaliknya.
Kekuasaan-kekuasaan yang yang ada dikehidupan manusia menurut Foucault itu tersebar dan terdesiminasi ke segala sisi kehidupan manusia, dimana oleh manusia, beredar, tertanam , dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan struktur kekuasaan apa yang mendominasi. Kekuasaan-kekuasaan yang ada pada kehidupan manusia tersebut tersebar dan terdesiminasi ke segala sisi kehidupan manusia dikarenakan oleh adanya ilmu-ilmu pengetahuan, melalui ilmu-ilmu pengetahuan yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. begitulah kekuasaan dan ilmu pengetahuan berafiliasi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang mana menciptakan jaring-jaring kekuasaan menurut Foucault.
Didalam ilmu pengetahuan sendiri terdapat isu-isu kekuasaan oleh manusia yang membentuk dan membuat ilmu pengetahuan itu ada yang guna diterapkan dalam kehidupan masyarakat untuk mendominasi manusia atau masyarakat lainnya. Jika dicermati karya Michel Foucault, hampir semuanya membicarakan akan kebenaran, kuasa, dan ilmu pengetahuan tetapi fokus pembahasan yang dilakukan Foucault hanya pada kekuasaan. Foucault tidak berbicara apa itu “ kuasa” tetapi Foucault menaruh perhatian pada bagaimana mekanisme dan strategi kekuasaan serta bagaimana kekuasaan tersebut dipraktikan, diterima, dan dilihat sebagai sebuah kebenaran yang ada di masyarakat (Ibid).
Foucault berkeyakinan dimana kebenaran itu sendiri letaknya tidak berada diluar, tetapi didalam kekuasaan itu sendiri. Kebenaran-kebenaran yang ada tidak lain adalah kuasa itu sendiri. Kebenaran merupakan aturan-aturan yang oleh kesadaran kita sudah dianggap pasti dan benar, untuk menentukan dan memilah-milah, mengklasifikasi keberadaan diri kita. Itulah yang merupakan rezim kebenaran dichotomist dualist yang merekayasa pengetahuan untuk kekuasaan yang benar dan yang salah, yang sah dan yang batal, yang pusat dan yang pinggiran, yang superior dan mana yang inferior dan seterusnya (Ibid: 369)
Ilmu-ilmu pengetahuan yang menyebarakan dan mendesiminasi kekuasaan terhadap kehidupan manusia secara implisit menjadi pelanggeng kekuasaaan yang ada dikehidupan manusia. Pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan atau disiplin tersebut karena ilmu pengetahuan menciptakan standar-standar akan kebenaran yang dibentuk yang kemudian disebar  dan tertanam pada pengetahuan masyarakat dalam memandang kehidupan yang masyarakat tinggali. Standar-standar akan kenaran yang telah diterima dan distujui oleh manusia didalam masyarakat itu menjadikan manusia tidak tersadar kalau mereka (masyarakat) sedang terdominasi. Hasil karya Michel Foucault pertama yang berjudul Madness and Civilization tahun 1961, bagaimana ia menelusuri kegilaan untuk mencari dan mempelajari praktik-praktik kekuasaan yang berkembang pada zaman itu.
 Praktik kekuasaan yang dapat dibahas dari buku Foucault yang pertama itu bagaimana praktik kekuasaan yang berkedok ilmu pengetahuan atau disiplin dari ilmu psikologi itu sendiri melakukan praktik kekuasaan kepada manusia lainnya. Kekuasaan disiplin ilmu Psikologi yang diwakili dengan kehadiran seorang psikolog, dimana psikolog itu sendiri dapat dengan mudah memutuskan apakah seseorang manusia itu normal dan seseorang itu gila, stress dan bukan dianggap dari bagian orang yang normal. Metode-metode yang diterapkan berupa pengujian yang melekat pada kekuasaan disipliner ilmu seperti psikologi yang menggunakan tes, wawancara, dan interograsi sebagai mekanisme yang manusiawi (Haryatmoko, 2002: 11).
Yang kemudian pada bukunya kedua yang berjudul Birth of The Clinic yang diterbitkan pada tahun 1963, Foucault lebih menitkberatkan dan melihat pada institusi rumah sakit sebagai pemberi layanan medis dan kesehatan bagi masyarakat juga melakuan praktik kekuasaan pada pasiennya melalui kebenaran-kebenaran yang ada di disiplin ilmu pengetahuannya. Seorang dokter punya kuasa untuk mengatakan dan membedakan mana manusia yang sehat, dan mana manusia yang sakit sesuai kehendak yang berdasar pada dispilin ilmu pengetahuannya. Dalam bukunya yang kedua ini, Foucault tertarik dan berminat karena terjadi pergeseran ilmu kedokteran, dari yang berfokus pada kesehatan dan masih menyediakan ruang bagi para pasien untuk menjadi dokter bagi dirinya sendiri pada abad ke 18, menuju keadaan dimana konsepsi ilmu kedokteran yang berfokus pada normalitas di mana tubuh pasien menjadi subjek tatapan yang berdaulat dari sang dokter di dalam tatanan klinis sebuah rumah sakit modern (Beilharz, 2002: 130).
Dalam hal penyelenggaraan negara pun, negara melakukan dominasi dan penguasaan terhadap masyarakatnya. Dominasinya dilakukan melalui alur pemikiran Governmentality yang disusupi oleh jaring-jaring kekuasaan oleh pemerintah melalui adanya standart of truth atau standar-standar kebenaran yang mana melalui proses-proses seperti klasifikasi, simplifikasi, kontrol, efektifitas, dan manajemen guna penguasaan terhadap masyarakatnya guna mencapai tujuan oleh pemerintah (kuliah mas Amex 16, Desember, 2013). Michael Foucault sebagai teoritikus yang melihat kekuasaan yang tersebar dan terdesiminasi ke segala penjuru kehidupan oleh masyarakat juga terjadi di institusi penegakkan hukum.
Foucault pun melihat bagaimana strategi yang dilakukan oleh institusi penjara yang dilakukan oleh para sipir-sipir untuk melakukan praktik kekuasaannya terhadap para narapidana yang ada dibilik-bilik penjara. Praktik kekuasaan yang dimaksudan oleh Foucault itu sendiri dikarenakan bentuk penjara yang didesain oleh Jeremy Bentham yang dinamakan penjara Panopticon, yang mana penjara tersebut merupaan gambaran praktik akan kekuasaan yang dilakukan oleh para sipir kepada narapidana. Desain penjara Panopticon yang dibuat oleh Bentham dibuat membundar, yang bentuknya mengelilingi dimana tujuannya pembuatan yang seperti itu untuk memudahkan pengawasan kepada para narapidana yang ada dipenjara. Praktik kekuasaan yang dipraktikan oleh para sipir dengan cara pada bagian yang ada ditengah penjara tersebut ditaruh lampu sorot yang mana terus berputar dan menyorot keseluruh bagian untuk mengawasi setiap kamar atau bilik yang diisi oleh para narapidana, diputar-putarnya lampu sorot tersebut, agar narapidana merasa kalau mereka sedang diawasi.
Hal tersebut merupakan cara dari institusi penjara dan sipirnya untuk melakukan pendisiplinan tubuh terhadap tubuh para narapidana, dengan lampu sorot yang selalu berganti dan menoroti kamar-kamar para narapidana maka seolah para narapidana ini sedang diawasi oleh sipir penjara, hal tersebut menyebabkan narapidan-narapidana tersebut seperti terkekang tidak bebas untuk melakukan kegiatan-kegiatannya apalagi untuk mencoba untuk melarikan diri dari penjara. Pendisiplinan terhadap tubuh-tubuh para narapidana yang dilakukan oleh penjara Panopticon yang dibuat oleh Jeremy Bentham ini, merupakan gambran sebuah praktik kekuasaan yang dilakukan oleh institusi penjara dan para sipirnya.
Pendisiplinan tubuh narapidana sebagai praktik kekuasaan yang dilakukan para sipir menguntungkan bagi institusi penjara karena dengan mekanisme ini penjara tidak membutuhkan kehadiran sipir setiap waktu untuk mengecek ke semua kamar yang diisi oleh narapidana, kehadiran sipir dikamar-kamar hanya cukup dilakukan beberapa kali saja, karena dengan mekanisme menyorotkan lampu kepada setiap kamar narapidana sudah cukup. Dimana seakan-akan narapidana tersebut sedang diawasi padahal narapidana tidak tahu apakah ada atau tidak sipir yang sedang mengawasi.
Kemudian Michel Foucault juga menelusuri bagian yang paling intim dari kehidupan manusia yaitu seksualitas, untuk menelusuri dan mencari tahu apa yang dinamakan akan kekuasaan itu. Seksualitas merupakan salah satu cara atau metode yang dilakukan Foucault dalam mencari tahu kekuasaan yang ada pada zaman dimana ia ada. Foucault yang melihat sejarah seksualitas yang ada pada zamannya meminjam pemikiran dari seorang Nietzsche yang melihat agama sebagai sebuah institusi yang melakukan praktik kekuasaan terhadap manusia atau masyarakatnya. Agama-agama yang ada memberikan sebuah standar-standar atas kebenaran yang dijadikan sebagai norma-norma serta nilai-nilai yang membatasi perilaku yang dilakukan oleh pemeluknya begitu pula dalam hal seksualitas.
Dalam menulusuri kekuasaan yang ada di balik seksualitas, maka Michel Foucault menggunakan metode genealogi untuk melihat sejarah seksualitas. Kekuasaan yang berkembang dan menguasai seksualitas itu sendiri disebabkan karena berkembangnya wacana-wacana ataupun diskursus yang di produksi oleh lembaga-lembaga yang berusaha untuk menciptakan masyarakat modern yang disipliner. Ketika masyarakat telah dikuasai wacana akan seksualitas oleh lembaga yang memproduksi kekuasaan tersebut masyarakat akan terdisiplinkan tubuhnya dengan sendirinya tanpa harus ada unsur pemaksaan atau koersi untuk menertibkan perilaku masyarakat, karena dengan telah menguasai pengetahuannya maka akan tergerak pula tubuhnya untuk didisiplinkan.
4. Pembahasan
Teori oleh Michel Foucault yang mana membahas dan mengkritik kekuasaan yang tersebar dan terdesiminasi keseluruh aspek kehidupan manusia. Di mana kekuasaan tersebut berafiliasi pada ilmu pengetahuan yang menghadirkan disiplin-disiplin ilmu yang menciptakan standar-standar kebenaran sebagai sebuah kebenaran yang harus diterima oleh masyarakat dan masyarakat harus mengikutinya. Seperti pada penjelasan sebelumnya pada bagian teori yang merupakan hasil karya oleh Michel Foucault, dimana dia harus menulusuri sebuah “ kegilaan “ untuk mengetahui adanya kekuasaan yang menyebabkan masyarakat yang bisa dikatakan “normal” dan “tidak normal” yang menyingkirkan sebagian masyarakat yang dikatakan tidak normal tersebut.
Kekuasaan yang bersemi pada sebuah kegilaan dilihat oleh Michel Foucault dikarenakan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu psikologi yang kekuasaan tersebut diwakili oleh kehadiran seorang psikolog. Seorang psikolog dengan disiplin ilmunya yaitu psikologi memiliki metode-metode untuk melancarkan kekuasaannya sehingga dapa membedakan dan men-judge seorang ini normal dan orang lainnya tidak. Melalui metode-metode seperti wawancara, psikotest, dan lain-lain yang dilakukan kepada masyarakat, seorang psikolog mampu dan mempunyai kekuasaan yang didapat dari hasil pengetahuannya membedakan orang yang normal dan orang yang gila sebagai sebuah kebenaran yang harus diterima oleh masyarakat.
Lanjut dari pembahasan yang sebelumnya pada bagian teori, Michel Foucault juga menulusuri institusi rumah sakit sebagai sumber kekuasaan. Hal tersebut dilakukan karena minatnya kepada institusi rumah sakit yang meningkat, karena melihat adanya perubahan paradigma kesehatan pada masyarakatnya pada saat itu yang mana masyarakat pada saat itu mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri bergeser pada institusi rumah sakit yang diwakili oleh dokter yang bertugas menyembuhkan masyarakat, sehingga solah tubuh-tubuh dari para pasien tersebut menjadi lahan kekuasaan yang berdaulat yang mana dokter berhak untuk melakukan apa saja pada tubuh sang pasien.
Pada final paper ini penulis akan mencoba mengambil sebuah realitas sosial yang ada di masyarakat Indonesia dan terjadi disekeliling penulis sendiri, yang mana menurut penulis sesuai akan teori dan hasil karya oleh Michel Foucault. Dalam hal ini penulis akan mencoba menganalogikan beberapa masalah yang menjadi perhatian penulis dengan teori yang dihasilkan oleh Foucault. Pertama penulis akan mencaba menganalogikan CCTV sebagai sebuah sumber kekuasaan baru pada masyarakat Indonesia saat ini. CCTV yang kepanjangannya Closed Circuit Television, merupakan seperangkat alat keamanan berupa kamera yang biasanya dipasang di tiap-tiap sudut ruangan untuk mengawasi. CCTV merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang semakin modern, sehingga tidak memerlukan banyak tenaga manusia untuk menjaga sebuah tempat cukup dengan memasang kamera tersebut disetiap sudut ruangan maka tertanam lah ketakutan-ketakutan pada pengetahuan pada tiap orang untuk berlaku normally, yang biasa saja sehingga tidak bisa leluasa untuk melakukan tindakannya.
Penulis dalam hal ini melihat CCTV begitu dekat dengan mekanisme yang Foucault lihat pada institusi penjara yang terjadi pada masyarakatnya dahulu. Dimana Foucault melihat penjara yang didesain oleh Jeremy Bentham yang bernama penjara Panopticon, melakukan praktik kekuasaannya kepada para narapidana, dengan menyebarkan dan menanamkan ketakutan kepada diri narapidana yang diwakilkan dengan bentuk gedung yang membundar, yang setiap saat di sorot oleh lampu sorot. Dimana lampu sorot tersebut berfungsi sangat strategis dalam mekanisme penjara panopticon, bentuk penjara yang membundar kemudian lampu sorot yang memutar menyorotkan cahayanya ke segala sudut penjara untuk menyebarkan pengetahuan kepada narapidana kalau mereka sedang disorot dan diawasi. CCTV sebagai sebuah alat keamanan baru yang merupakan hasil yang dari perkembangan zaman dan teknologi. CCTV menjadi alat atau cara menerapkan sistem keamanan terbaru dan paling canggih untuk mengawasi setiap tindakan yang tidak diinginkan.
Ketika CCTV menjadi sebuah alat ataupun cara menerapkan sistem keamanan yang baru, CCTV secara tidak langsung menyebarkan dan menerapkan kekuasaan pada orang atau masyarakat yang berada pada wilayah sorotnya sehingga pengetahuan dan tubuh individu tersebut terdisiplinkan sesuai dengan norma yang berlaku pada masyarakat atau suatu tempat yang dianggap sebuah kebenaran. CCTV dalam hal ini merupakan medium atau alat yang menyebarkan kekuasaan oleh sang pemiliki tempat dengan menaruh kamera CCTV disetiap sudut bangunan untuk melihat dan merekam gerak-gerik dari orang atau masyarakat yang berada didalam area sorot sebuah CCTV. CCTV menjadi media untuk menguasai orang lain dengan menanamkan sebuah pengetahuan kepada orang-orang yang berada diwilayah sorotnya kalau mereka sedang direkam dan diawasi, sehingga orang-orang tersebut harus act normally, sesuai dengan peraturan yang ada pada suatu tempat. Sebagai contoh kamera CCTV yang  dipasang di sebuah minimarket, bagaimana minimarket tersebut sang empunya kamera CCTV secara tidak langsung menyebarkan kekuasaannya melalui medium CCTV tersebut.
Pembeli-pembeli serta pengunjung minimarket tahu kalau disetiap sudut ruangan minimarket tersebut terpasang kamera, sehingga pembeli dan pengunjung minimarket tersebut secara sadar mereka sedang direkam dan diawasi tindakannya. Padahal CCTV yang biasanya tersambung dengan ruangan kontrolnya atau ruang keamanan tidak atau belum tentu saat itu sedang dijaga dan diawasi oleh seorang petugas keamanan minimarket. Pembeli dan pengunjung minimarket maka akan berlaku normal dan sesuai aturan yang ada pada tempat tersebut dan tidak akan berlaku diluar logika ketika mereka sedang diawasi, seperti melakukan pencurian terhadap barang-barang yang ada diminimarket tersebut. Penanaman akan ketakutan telah meresap kepada pengetahuan-pengetahuan sang individu pembeli dan tersebar ke seluruh pembeli dan pengunjung minimarket melalui benda yang kecil yang dipasang disudut-sudut minimarket. Tidak perlu kehadiran satpam dan petugas keamanan yang banyak, cukup dengan memasang dan menaruh alat perekam dalam hal ini CCTV untuk merekam dan mengawasi sebuah ruangan minimarket dengan begitu saja mekanisme kekuasaan berjalan karena mereka (pembeli) tahu sedang diawasi, rasio atau pengetahuan pun menyadari dan tubuh-tubuh para pembeli pun terdisiplinkan.
Pembahasan mengenai masalah yang kedua oleh penulis, bagaimana penulis berusaha mengungkap kekuasaan yang dimiliki oleh institusi pendidikan dalam hal ini institusi kampus melakukan praktik kekuasaan dengan menyebarkan pengetahuan akan standar lulus dan nilai yang baik sebagai sebuah syarat atau ketentuan yang harus dimiliki para mahasiswa. Seperti pada penjelasan sebelumnya yaitu pada bab masalah, penulis sebagai mahasiswa dan mahasiswa lainnya sadar kalau mereka sedang terdominasi dan dikuasai oleh kebijakan kampus untuk menjadi mahasiswa yang baik maka harus memiliki nilai yang baik yang tergambar melalui perolehan IPK. Penulis dan mahasiswa lainnya mengerjakan ini semua (bidang akademis) berupa tugas, membaca, penelitian dan lain-lain semata-mata hanya untuk mengejar nilai yang baik sebagai sebuah standar kebenaran produksi kampus. Terkadang untuk mengejar sebuah kebenaran yang diproduksi oleh kampus tersebut, penulis dan mahasiswa lain mengesampingkan hal lainnya yang mungkin jauh lebih penting termasuk kehidupan sosial. Bagaimana institusi pendidikan dalam hal ini mensyaratkan IPK seorang mahasiswa untuk diatas 2 untuk memperoleh gelar kesarjanaan, standar akan pengetahuan yang diproduksi oleh kampus menjadi standar kebenaran yang harus diikuti oleh mahasiswa.
Dengan kenyataan tersebut bagaimana mahasiwa harus mengikuti alur dengan harus mengikuti seluruh kegiatan perkuliahan yaitu sit in, mengerjakan tugas, membaca, penelitian dan lain-lain untuk mecapai skor yang ditentukan oleh kampus. Bagaimana kampus dalam hal ini mereproduksi kekuasaan dengan menguasai wacana akan kebenaran yang dihadirkan melalui standar nilai IPK yang kemudian merasuk, tertanam dan menyebar kepada seluruh pengetahuan oleh mahasiswa yang mana untuk mencapai target tersebut mahasiswa harus mendisiplinkan tubuhnya dengan mengikuti segala tata cara dan aturan untuk mencapai nilai atau IPK yang diproduksi oleh kampus sebagai sebuah kebenaran.
5. Penutup
Foucault sebagai pemikir post-modernisme yang mana mengkritik dunia modern atau modernitas justru mendominasi dan berusaha menguasai masyarakat dengan melakukan penaklukan-penaklukan terhadap rasio dan pengetahuan masyarakat. dalam hal ini Michel Foucault menitikberatkan pemikirannya terhadap pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran. Namun fokus dari pemikiran Michel Foucault tertuju pada relasi kekuasaan yang lebih dominan mewakili pemikirannya. Foucault melihat bagaimana sebuah kekuasaan itu merupakan sesuatu yang terpisah ataupun berada diluar dari pengetahuan, karena sesungguhnya kekuasaan itu ada dan berada dipengetahuan tersebut yang sifatnya produktif dan untuk mencapai sebuah relasi kekuasaan maka pengetahuan atau disiplin tersebut menciptakan sebuah kebenaran-kebenaran.
Foucault dalam melihat kekuasaan bukanlah sesuatu hal yang didapat melalui perang dan menaklukan bangsa lain untuk dapat menguasainya ataupun Foucault juga tidak melihat sebuah “kuasa” itu didapat melalui persetujuan-persetujuan ataupun konsensus didalam masyarakat itu sendiri. Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang tersebar dan terdesiminasi keseluruh sisi kehidupan masyarakat, karena manusialah aktor dari kekuasaan itu sendiri. Manusia seperti yang dikatakan oleh Foucault adalah aktor kekuasaan maka manusia itu sendiri mempunyai kesempatan untuk melakukan praktik kekuasaan pada individu lain, namun ia (manusia) juga bisa menjadi orang yang terbelenggu oleh praktik kuasa orang lain. Foucault dalam melihat relasi kekuasaan yang ada pada masyarakatnya yang telah tertulis didalam buku-bukunya itu, praktik-praktik kekuasaan yang ada dilakukan oleh disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang mana pengetahuan yang ada pun dibentuk oleh manusia itu sendiri demi berlangsungnya kepentingan oleh yang menciptakan ilmu pengetahuan tersebut.
Pemikiran oleh Foucault mengenai disiplin ilmu pengetahuanlah yang justru menyebarkan kekuasaannya kepada orang lain melalui pengetahuan yang ada pada dispilin tertentu. Disiplin ilmu yang Foucaut lihat sebagai salah satu bentuk disiplin yang melakukan praktik kekuasaan tersebut misalnya psikologi. Bagaimana melalui kehadiran seorang psikolog, disiplin ilmu psikologi mampu membedakan atau mengklasifikasikan mana-mana orang yang normal dan mana-mana orang yang tidak normal hanya melalui metode atau cara-cara yang ada pada disiplin mereka seperti wawancara, psikotes dan lain-lain. Kemudian minat Foucault juga tertuju pada institusi rumah sakit, melalui dokternya melakukan praktik kuasa pada pasiennya. Dalam hal ini Foucault berminat dan tertarik untuk melihat institusi kesehatan itu sendiri, karena ada pergeseran paradigma pada institusi tersebut yang mana pada awalnya pasien atau masyarakat mampu mengobati atau menyembuhkan dirinya sendiri kalau sakit namun bergeser kepada kehadiran dokter untuk mengobati pasien, bagaimana tubuh pasien tersebut merupakan lahan praktik kuasa oleh dokter atas pasien.
Singkat saja, Foucault juga melihat pada masyarakatnya terjadi praktik kekuasaan yang dilakukan penjara kepada narapidana. Dimulai dari desain penjara oleh Jeremy Bentham yang memutar, kemudian ditaruh lampu sorot ditengahnya, penjara tersebut yaitu penjara Panopticon. Panopticon melakukan mekanisme dalam mendisiplinkan narapidannya dengan menyorotkan lampu kepada seluruh kamar narapidana, seakan-akan narapidan tersebut sedang diawasi, maka dengan begitu narapidana tidak akan melakukan hal-hal yang tidak terduga seperti kabur atau kerusuhan karena tubuh mereka sudah di disiplinkan. Foucault juga melihat seksualitas yang kini menjadi tabu dikarenakan sebuah wacana yang diproduksi oleh lembaga-lembaga, memberikan pengetahuan dan kebenaran kalau seks adalah hal yang tabu dilakukan oleh masyarakat yang tidak mempunyai ikatan yang sah untuk kasus Indonesia, biasanya lembaga-lembaga agama lah yang memproduksi akan pembatasan prilaku seks bagi pemeluknya. Untuk melihat ralasi kekuasaan yang ada pada seksualitas Foucaut menggunakan metode pendekatan genealogi untuk melihat sejarah-sejarah sehingga terbentuknya wacana akan seksualitas.
Dalam hal ini penulis mengambil contoh kasus sebuah CCTV, CCTV sebagai sebuah benda hasil kemajuan teknologi modern penulis meyakini terdapat kesamaan mekanisme yang dijalankan CCTV ini dengan penjara Panopticon. Dimana CCTV dan penjara panopticon sendiri penulis lihat sama-sama berusaha menanamkan rasa takut bagi individu, sehingga individu berlaku sesuai dengan keinginan yang dimiliki oleh pemilik kuasa. Dengan adanya CCTV tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pengatahuan oleh pengunjung sehingga bertindak sesuai aturan yang mana terjadi pendisipinan terhadap tubuh pengunjung pada saat itu. Kemudian penulis juga mengambil permasalahan insitusi pendidikan dalam hal ini kampus yang menjadi tempat penulis menuntut ilmu juga, yang melakukan praktik kekuasaan kepada mahasiswanya. Praktik kekuasaan yang dijalankan oleh kampus melalui standar IPK yang menjadi tolak ukur sepandai apa mahasiwa dan yang menentukan kelulusan dari mahasiswa juga. Nampaknya menjadi penting bagi kampus untuk mendisplinkan dan mengatur tubuh para mahasiswanya demi tujuan oleh kampus itu sendiri. Penulis dan mahaswiswa lainnya dalam hal ini sadar telah terjadi dominasi kekuasaan oleh kampus, namun apa daya rasio dan pengetahuan penulis dan mahasiswa lainnya telah ditaklukan oleh kebenaran-kebenaran yang diproduksi oleh kampus.
 Penulis dalam hal ini melihat bahwa pemikiran, filsafat dan hasil karya oleh Michel Foucault masih begitu relevan untuk menjadi titik tolak pemikiran kritis bagi masyarakat Indonesia kini terutama untuk mahasiswa sebagai seorang akademisi. Kehidupan yang normal dan seimbang (equilibrum) yang kita temui setiap hari tidak menjadikan kita sebagai orang yang apatis dalam memandang dunia, seharusnya menjadi tolak pikir utama bagi kita untuk berpikir kritis karena dibalik itu terdapat relasi-relasi kekuasaan yang bersemayam dan tersebar demi kepentingan segelintir orang. Hal ini selaras dan setujuan akan pemikiran Michel Foucault yang mengkritik kekuasaan yang disebarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan melalui kebenarannya untuk mendisiplinkan tubuh manusia demi mewujudkan masyarakat yang disipliner.      
 Daftar Pustaka
  • Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof TekemukaAlih           bahasa oleh Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Haryatmoko. 2002. Foucault dan Kekuasaan. Diterbitkan oleh BASIS. diktat mas Amex
  • Suyanto, Bagong dan M. Khusna Amal. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial.  Malang:           Aditya Media
  • Perkuliahan Michel Foucault oleh mas Amex pada tanggal 16 Desember 2013

Tuesday, November 20, 2012

Kata-kata (bukan) Mutiara


" Semuanya gaada yang kebetulan, 

sudah terlukis   indah adanya, oleh 

Yang Esa. "

Saturday, November 10, 2012

GA PUNYA JUDUL

Hey seseorang pujaan,
Ada pelangi di bola mata mu,
Begitu juga di senyum mu,
Sehingga mengalihkan duniaku,
Pada kenyataan yang semu,
Terkadang pula tidak sesuai anganku,


dan aku pun tidak bisa melawannya...


Untukku..
Untuk Hatiku,
Untuk Hidupku,


Dan mungkin


Untukmu..
Untuk Hatimu,
Untuk Hidupmu,


Dan Mungkin Untuk Kita..

Itu Harap Terbesarku..

Semoga Indah Akhirnya Untuk Aku dan Juga Kamu..

Wednesday, November 7, 2012

Kata-kata (bukan) Mutiara

"  Kesalahan terbesar seseorang adalah ketika beranjak pergi dari peraduannya, tidak ada semangat, tidak ada motivasi.  " 

Thursday, October 25, 2012

Chelsea players

oke kali ini saya mau ngeshare dikit tentang pemain tim yang saya suka yaitu THE BLUES CHELSEA!!! 

ini ada gambarnya dikitttt :





nah entu tuchhh yang paling atas THE CAPTAIN OF THE BLUES CHELSEA his name is John Terry. we can call him with capt. JT. pemegang nomer punggung 26 inilah yang selama ini menjadi pemimpin chelsea fc di lapangan cuman sayangnya doi udah cukup tua dan kabar2nya doi bakal pindah karena kebijakan chelsea skrg pemain yg udah diatas 30 tahun cuma dpt 1 tahun perpanjangan kontrak, apalagi doi lg kena banyak skandal yg lg hot skrg perilaku rasis doi ama A. Ferdinand padahal itu semua ga kebukti cuma FAnya aja bersikeras mau mnghukum doi. TOTLAH FA!! I've five fingers and the middle for u F* Fakkk!!


nah yang ditengah tuchhh namanya Frank Lampard yang sama gantengnya kayak gua hikzzz :)) , biasanya kita kalo ngechant buat doi dengan sebutan SUPER FRANK, doi termasuk pemain yang disegani di chelsea selain JT karena doilah yang menjabat sebagai Co. CAPTAIN THE BLUES kalo gaada JT ya doilah yg jadi kapten kalo gaada doi mungkin cech atau ivanovic yg gantiin. meskipun gelandang doi sering nyiptain gol dan cukup suburlah buat seorang gelandang. wece2 dunia pasti suka nih ama doi karena kegantengannyaa.


lasssssssst!!! you can call him EL NINO !!! ya dia adalah Fernando Torres kalo ngechant biasanya nando torres gicccuuuu, dialah pemain depan yang dimiliki the blues saat ini selain daniel sturidge (yg ada dichelsea saat ini) meskipun pefromanya yg terkadang naik turun cuman gua sbg fans The Blues masih percaya ama doi apalagi doi kan abang guaaaaaaa he he he he pfffttt.......